Sabtu, 04 November 2017

Cara Pandang Berbeda



Diantara ratusan santri kawan-kawannya di pesantren, mungkin dia adalah anak muda yang beruntung. Dia sangat bersyukur telah dianugrahi Allah suara merdu nan indah dalam melantunkan ayat-ayat suci Al qur'an. Tidak semua orang ataupun santri memiliki bakat sepertinya.

Terbukti, dalam berbagai macam event perlombaan baca quran tingkat lokal, dia selalu menjadi delegasi andalan dari pesantrennya. Entah sudah berapa piala dia bawa pulang dari beberapa ajang perlombaan tersebut.



Pikirnya, dengan apa yang dimilikinya sekarang kelak saat dewasa nanti ia akan menjadi qari' kelas dunia. Mimpinya ia ingin mengikuti jejak langkah qari' internasional legendaris yang ia kagumi seperti Syaikh Shiddiq Al Minsyawi dari Mesir, ataupun Syaikh Mu'ammar ZA dari tanah kelahiran yang sama dengannya, Indonesia.

Dalam benaknya ia membayangkan bisa perform di atas podium di beberapa negara besar seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar dan Turki. Selalu saja pikirannya melayang berangan-angan kelak pasti banyak pujian akan tertuju kepadanya.

Suatu hari, di kota yang sama dengan pesantrennya, berkunjunglah seorang muqri', syaikh pendidik qiro'ah kenamaan asal negeri Kinanah Mesir. Syaikh ini sangatlah masyhur dan hebat, dari tangan dinginnyalah telah banyak terlahir qari'-qari' jempolan kelas dunia. Anak muda ini ingin sekali menunjukkan kebolehannya melantunkan alquran di hadapan syaikh, bahkan jika memungkinkan ia berharap betul berkesempatan menjadi murid beliau.

Gayung pun bersambut. Kesempatan itu datang juga. Ditemani seorang seniornya di pondok, ia pun berhasil berkesempatan bertemu sang Syaikh di masjid jami' usai sholat Jum'at.Ia pun bertanya : "Ya syaikh, saya punya impian menjadi qari' kelas dunia. Apakah Anda punya waktu sejenak? Saya ingin tahu pendapat Syaikh bagaimana bacaan quran saya."

"Siapa namamu anak muda?"
"Nama saya Iqbal. Lengkapnya Iqbal Arrusydi ya Syaikh."
"Baiklah.. saya kasih waktu 10 menit. Bacalah 5 ayat terserah kamu!" Jawab Syaikh.

Mulailah ia melantunkan surah Ali Imran ayat 102 dengan suara merdu mendayu-dayu dan meliuk-liuk serta suara serak basah khasnya. Namun, belum 10 menit dan ia baru dapat 2 ayat, sang Syaikh pergi berlalu meninggalkannya tanpa mengucap sepatah kata pun.

Betapa hancur si santri muda melihat sikap sang Syaikh. Ia langsung berlari keluar. Pulang ke pesantren, dia langsung menangis tersedu-sedu. Dia menjadi benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata bacaan quran dengan suara merdu yang selama ini dia bangga-banggakan tidak ada apa-apanya di hadapan sang syaikh pakar qiraah.

Sudah terlampau kronis sakit hati yang ia rasakan. Ia merasa tertusuk tombak berkarat tepat di ulu hatinya. Sejak saat itu, dia bersumpah tidak pernah akan lagi tampil qiraah. Seminggu setelah itu semangat belajar dan mengajinya pun terjun drastis. Dengan alasan yang absurd dan tidak jelas ia memutuskan boyong dari pesantren dan bersekolah di rumah ala kadarnya.

Puluhan tahun berlalu. Sang 'mantan' santri muda kini telah menjadi ayah dengan tiga orang anak. Istrinya telah meninggal. Dan untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi pelayan dari sebuah toko di sudut jalan. Ia telah melenyapkan quran dari dalam dadanya. Iya, nyaris hilang sama sekali. Padahal dulu ia telah hafal 15 juz firman Allah tersebut.

Suatu hari, ada sebuah pengajian umum yang diadakan di kotanya. Nampak sang Syaikh berada di antara para tamu undangan di bawah panggung. Sang Syaikh nampak tua, dengan rambutnya yang sudah putih. Si 'mantan' santri ini dengan tiga anaknya juga datang ke acara tersebut.
Seusai acara, ia ini membawa ketiga anaknya ke belakang panggung, mencari sang Syaikh, dan memperkenalkan ketiga anaknya kepada beliau. Sang Syaikh masih mengenali sosok 'ayah muda' di hadapannya ini, dan kemudian mereka bercerita secara akrab.

Si ayah bertanya, "Syaikh, ada satu pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Ini tentang penampilan saya sewaktu qiraah di hadapan Anda bertahun-tahun silam. Sebegitu jelekkah penampilan saya saat itu, sehingga Anda langsung pergi meninggalkan saya begitu saja, tanpa mengatakan sepatah kata pun?"

"Oh ya, saya ingat momen itu. Terus terang, saya belum pernah melihat bacaan anak muda seindah yang kamu lantunkan waktu itu. Saya rasa kamu akan menjadi qari' kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu tiba-tiba berhenti dari dunia qiraah", jawab sang Syaikh.

Si ayah muda sangat terkejut mendengar jawaban sang Syaikh. "Ini tidak adil", seru ayah muda. "Sikap Anda ya Syaikh telah mencuri semua impian saya. Kalau memang bacaan saya bagus, mengapa Anda meninggalkan saya begitu saja, ketika saya baru membaca beberapa menit. Anda seharusnya memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya bisa menjadi qari' kelas dunia, bukan hanya menjadi pelayan toko!"

Syaikh menjawab lagi dengan tenang, "Tidak... Saya rasa saya telah berbuat benar. Anda tidak harus minum jus satu barel untuk membuktikan jus itu enak. Demikian juga saya. Saya tidak harus melihatmu selama 10 menit penuh untuk membuktikan bacaanmu bagus. Waktu itu saya juga sangat lelah setelah beraktifitas. Maka sejenak saya tinggalkan kamu, untuk mengambil kartu nama saya di mobil dan berharap kamu mau menghubungi saya lagi keesokan hari"

"Tapi kamu sudah pergi ketika saya keluar dan satu hal yang perlu kamu camkan, bahwa kamu mestinya fokus pada impianmu, bukan pada ucapan atau tindakan saya. Lalu pujian? Kamu mengharapkan pujian? Ah, waktu itu kamu sedang bertumbuh. Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu".

"Dan faktanya saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang diberikan pada saat seseorang sedang bertumbuh, hanya akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya berhenti. Saya justru lebih suka mengacuhkanmu, agar hal itu bisa melecutmu bertumbuh lebih cepat lagi. Lagipula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri, tidak sepantasnya kamu meminta pujian dari orang lain".

"Kamu lihat, ini sebenarnya hanyalah masalah sepele, seandainya kamu waktu itu tidak menghiraukan apa yang terjadi dan tetap berlatih, mungkin hari ini kamu sudah menjadi qari' kelas dunia. Mungkin kamu sakit hati pada waktu itu, tapi sakit hatimu akan cepat hilang begitu kamu berlatih kembali. Namun, sakit hati sebab penyesalan hari ini tidak akan pernah bisa hilang selama-lamanya", terang sang Syaikh.

Pembaca yang budiman, semoga kita tidak termasuk dalam golongan yang mudah berpuas diri dan selalu mengharap pujian dari orang lain.

Demikian juga sebaliknya, jangan patah semangat hanya karena sikap negatif seseorang pada kita. Dan mari kita belajar lebih tentang kerendahan hati, karena kesombongan hati akan menghancurkan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar