Rabu, 16 Agustus 2017

Pujian Hati



Pagi itu, dengan (tanpa) sengaja, netraku beradu pandang dengan netranya.
Sepersekian detik hati ini spontan tersesaki decak kagum perihal pesonanya. Berawal dari mata yang tersihir elok parasnya.
Dari mata tergelincir turun ke hati.
Seperti itu. Sesimpel itu.
Tapi..

Tidak! Hati ini berpaling.
Bergeser dari mainstream bagaimana selaiknya pujian dan sanjungan itu teralamatkan.
Sifat khianat yang kukira sudah terkubur dalam-dalam dan mati, ternyata samar-samar kembali menjalar menjajah fikiranku.

"Itu semua hanya karna dirimu sendiri", bisiknya lewat semilir angin yang mendesir.

"Koreksilah selalu hatimu sendiri, yang masih memiliki tatapan yang sama : abai dan lupa, dalam dan kelam", lanjutnya.

"Kau tak pernah seksama mengingat, bahwa aku tak henti-hentinya bertasbih dalam dekapan kasih sayangNya.
Bahwa bahkan aku sendiri tak pernah dan tak akan bisa mengendalikan diriku sendiri"

"Kau tahu? Aku adalah salah satu serpihan ciptaanNya yang terlampau jauh diatas -sekedar- terma 'apatis'.
Aku tak peduli berapa ramai visualisasi dari lisan mereka untuk memujiku. Iya. Hanya padaku.
Lebih-lebih setangkup dari mereka yang menekuk lutut menempel kening ke tanah tuk memintaku melakukan sesuatu"

"Kau tahu? Aku yang kau lihat disini adalah aku yang sama kau lihat disana. Di negeri asalmu. Dulu.
Aku hanya tunduk berjalan dibawa titahNya"

Seketika benakku berseru lantang, mencaci maki sosok lain dalam diriku yang kian menjauh, menjadi seseorang yang tidak ku kenal dan belum mampu ku gapai.

Namun, seakan mengkhianati logikaku, hatiku justru berbisik lirih "segala puji bagi Allah yang selalu ingat padamu, meskipun Dia berkali-kali hilang dari dalamku"


Bahr Mukalla
by: @luthfimrzuky

Tidak ada komentar:

Posting Komentar